Senin, 26 Oktober 2015

Memaknai Pengorbanan Alam Dengan Menjadi Konsumen Yang Bijak

Problematika Sawit di Tanah Hijau
Bayangkan jika kita memiliki sebuah tempat tinggal yang nyaman, keseharian yang penuh kebahagiaan karena semua kebutuhan kita tersedia disekitar kita. Namun ketika esok hari terbangun, tiba-tiba semua itu terenggut dari kita. Kita sulit melakukan apapun karena asap pekat kekuningan menghalangi penglihatan kita, mata ini tak sanggup lagi menangis saking perihnya, dan dada sangat sesak karena dipenuhi asap yang tak kunjung habis berdatangan.
Ilustrasi diatas bukanlah skenario sebuah film namun realita yang sedang terjadi di Indonesia. Bisa dibilang bukanlah realita karena kebakaran hutan telah terjadi sejak lama dan dewasa ini semakin parah. Sepanjang tahun 2015, tercatat lahan hutan yang terbakar mencapai 12 provinsi tersebar di Indonesia dengan pembakaran terluas berada di Riau mencapai 2.025,42 hektar. Provinsi lain yang juga turut terdampak yaitu: Kalimantan Barat (900,20 ha), Kalimantan Tengah (655,78 ha), Jawa Tengah (247,73 ha), Jawa Barat (231,85 ha), Kalimantan Selatan (185,70 ha), Sumatera Utara (146 ha), Sumatera Selatan (101,57), dan Jambi (92,50 ha). Bahkan akibat kondisi Indonesia yang sedang dilanda musim kemarau berkepanjangan, kebakaran telah merambah kawasan taman nasional dan pemukiman penduduk. Situasi yang menggambarkan, hutan sebagai paru-paru dunia sudah tak lagi relevan untuk Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis terbanyak jika dibandingkan negara lain di dunia.

Api melahap bumi Kalimantan tanpa ampun


Kondisi udara Kalimantan yang berbahaya untuk batas wajar
Bencana kabut asap yang berulang, bahkan cenderung kian parah ini berdampak pada banyak sektor di Indonesia. Selain kerusakan lingkungan, bencana berdampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat Indonesia. Sudah tak terhitung warga yang sesak napas karena menghirup asap setiap hari, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Bahkan telah ada korban berjatuhan yang didominasi balita. Hingga kini, masyarakat awam masih mereka: siapa dalang yang ada dibalik bencana dahsyat ini?
Sawit adalah penyebabnya. Itu yang banyak diperbincangkan orang termasuk penulis, jika membahas mengapa kebakaran hutan bukannya membaik namun merajalela di negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia seperti Indonesia. Ya, hutan-hutan yang dilalap oleh si jago merah itu dibakar (garis bawah tebal: dibakar, bukan terbakar) oleh sekelompok orang tidak bertanggungjawab yang melakukan semua demi kepentingan pribadi.
Mengapa dibakar? Karena pembakaran lahan merupakan cara yang paling efektif, cepat dan murah untuk membuka perkebunan sawit yang menguntungkan. Pembakaran hutan juga ‘membuka lahan pekerjaan baru’ di kawasan terpencil yang luput dari pengawasan pemerintah, karena ‘bos besar’ yang berada dibalik kerajaan sawit ini kerap membayar orang untuk membakar hutan. Karena alasan ekonomi, apapun dilakukan dan bencana pun tak bisa lagi dihindarkan. Semakin murah biaya yang diperlukan untuk membakar sebuah lahan, keuntungan yang diperoleh si pemilik kebun sawit nantinya akan semakin besar.
Sebagai negara besar, hingga kini Indonesia menghadapi dilema yang pelik terkait tumbuhan penghasil minyak goreng ini. Tahukah kamu bahwa Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di seluruh dunia, selain Malaysia?[1] Tahun 2015, Indonesia telah memproduksi 31,5 metrik ton minyak sawit. Minyak sawit adalah minyak yang paling banyak digunakan di berbagai belahan dunia untuk beragam keperluan. Mayoritas kegiatan produksi memang dilakukan di negara tropis karena pertumbuhan pohon sawit membutuhkan suhu yang hangat, matahari dan cukup hujan agar produk yang dihasilkan maksimal. Efek negatif yang ditimbulkan dari kegiatan produksi sawit ini berhasil menetapkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia saat ini, mengalahkan Amerika Serikat dan Cina yang selama ini digadang sebagai negara dengan polusi yang berbahaya karena banyaknya kegiatan produksi. Bahkan negara Barat menjuluki Indonesia sebagai penjahat lingkungan terbesar di abad 21.[2]

Bijak dalam Memaknai Alam
            Menghadapi fakta mengejutkan diatas berikut kerusakan krusial dalam berbagai sektor, kita tak sepenuhnya bisa menghakimi sawit dan lantas menganggapnya musuh terbesar dalam kehidupan. Karena hampir seluruh produk yang kita gunakan dalam keseharian kita melibatkan sawit didalamnya: bahan makanan, minyak goreng (sudah tentu), peralatan mandi, camilan yang kita konsumsi bahkan kosmetik pun mengandung sawit.
            Minyak sawit merupakan elemen vital dalam kehidupan manusia dan keberadaannya membutuhkan tanah subur agar bisa lestari. Dalam hal ini kontribusi Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan luas sudah melebihi batas: hutan hancur, lahan dibakar, kehidupan satwa liar di habitatnya semakin tertekan untuk menimbulkan sawit kedalam kehidupan kita. Ketegasan pemerintah Indonesia menjadi pertanyaan banyak pihak karena dinilai lamban bahkan cenderung abai terhadap bencana asap yang sudah berlarut-larut selama puluhan tahun lamanya. Perizinan pembukaan lahan yang melebihi batas dan alih fungsi lahan gambut yang sangat masif kepada pihak luar menjadi faktor utama mengapa Indonesia sampai saat ini masih terbelit dalam bencana asap dan kebakaran hutan.

Mengerikan jika di masa mendatang generasi baru melihat makhluk luar biasa ini hanya di buku sejarah :')

            Sebagai manusia inilah saatnya kita menebus pengorbanan alam. Kita tak bisa terus berteriak kepada pemerintah tanpa melakukan suatu langkah yang berarti. Bukan berarti menghindari sawit dan melakukan langkah ekstrim, namun berubah menjadi sosok konsumen bijak yang arif dalam memaknai apa yang sudah alam berikan kepada kita. Salah satu cara yaitu dengan menggunakan produk sawit yang berkelanjutan. Berkelanjutan yaitu, mengiringi langkah kita dengan memakai produk dimana kelestarian lingkungan dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam hal ini, kita sebagai manusia awam dapat merujuk pada RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). RSPO merupakan organisasi yang terbentuk untuk menyatukan produsen sawit, pengolah, pedagang, organisasi sosial dalam mengembangkan standar global terhadap minyak sawit yang berkelanjutan. Kedepannya akan mengedukasi masyarakat luas agar menggunakan produk dalam keseharian hidup dimana mengandung sawit yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan.

Jadikan sebagai pedoman dalam berbelanja produk yang ramah lingkungan

Jadilah pahlawan lingkungan dimulai dari diri sendiri

Sebagai anggota pendiri, WWF terus menunjukkan komitmennya dalam memperjuangkan edukasi masyarakat menggunakan produk dengan bahan sawit yang berkelanjutan, melalui program #BeliYangBaik . Program ini menjelaskan kepada masyarakat bahwa kita dapat turut andil melestarikan lingkungan dengan jeli membelanjakan kebutuhan sehari-hari dengan memakai produk yang kandungan sawitnya sudah tersertifikasi ramah lingkungan, yaitu yang sudah berlabel RSPO.[3]
Selain itu, komitmen kita menggunakan produk yang ramah dengan hutan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi produk yang berlabel FSC (Forest Stewardship Council), sebuah organisasi nirlaba yang mengedukasi penggunaan produk berlabel ekolabel dan bertanggungjawab terhadap keseimbangan ekologi. Sertifikasi ini telah diakui di seluruh dunia dan juga didukung oleh organisasi lingkungan seperti WWF. Sejauh ini, terdapat 200 perusahaan di Indonesia yang berkomitmen untuk memiliki sertifikasi FSC yang ramah terhadap lingkungan.[4]

Label produk FSC yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan.




Mulailah menjadi konsumen bijak dengan produk berlabel ramah hutan.

      Apa yang penulis jelaskan mungkin terdengar berlebihan dan merepotkan, terlebih harus membedakan produk ketika sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari. Hal lain yaitu, mayoritas produk yang bersertifikasi adalah produk impor yang belum tentu dapat dijangkau oleh semua pihak. Tetapi, tanamkanlah keyakinan bahwa walaupun kita bukan orang yang berada dalam otoritas negara namun kita bisa melakukan sesuatu. Melakukan suatu langkah besar dimulai dengan lompatan kecil. Langkah kecil yang tak dapat menebus secara instan kerusakan lingkungan yang timbul akibat kebutuhan manusia Karena apa yang kita beli adalah apa yang kita dukung.


PS. Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis #BELIYANGBAIK : Sustainable Palm Oil, Gaya Hidup Konsumen Bijak.

[1] Sumber: dilansir dari http://www.indonesia-investments.com/business/commodities/palm-oil/item166 “Palm Oil” pada 26 Oktober 2015.
[2] Dilansir dari artikel ‘Erik Meijaard: Indonesia’s Fire Crisis – The Biggest Environmental Crime of the 21st Century’
[3] Rincian produk yang berlabel ramah hutan dapat dilihat pada http://www.rspo.org/trademark/trademark-products-gallery.
[4] Sumber: artikel Baru Ada 200 Perusahaan Ramah Lingkungan di Indonesia dilansir dari website Forum Hijau Indonesia http://forumhijau.com/baru-ada-200-perusahaan-ramah-lingkungan-di-indonesia/.

Kamis, 22 Oktober 2015

Mewujudkan Pernikahan Impian Untuk Masa Depan Yang Cerah

Sejak masih berseragam putih biru, saya memiliki suatu impian yang bagi orang lain tidak masuk akal. Saya ingin memiliki seorang kekasih yang terpaut 5-10 tahun lebih tua dari saya. Bayangkan bagaimana hal itu terdengar tidak rasional karena saat itu saya berada dalam fase dimana anak SMP harusnya masih bermain-main dan belum memikirkan masa depan yang masih entah kapan terjadi. Tetapi itulah realitanya karena impian itu berikutnya menjadi syarat mutlak saya dalam mencari seorang kekasih, bagaimana sosoknya, fisik, siapa keluarganya yang paling utama dia harus jauh lebih tua dari saya.

Bisa dibilang saya memiliki alasan khusus mengapa saya menjadi sedemikian idealis. Saya berasal dari latar belakang orangtua yang kurang harmoni sejak saya lahir, sehingga saya membutuhkan sosok lain diluar orangtua yang dewasa dan dapat mebimbing saya ke segala hal yang baik. Saya juga memiliki keyakinan, laki-laki yang jauh lebih tua akan menciptakan hubungan yang menyenangkan dan lebih kuat mempertahankan komitmen dibandingkan lelaki sepantaran atau bahkan lebih muda. Alasan yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan, laki-laki yang berusia jauh dari wanita memiliki kondisi finansial yang sudah matang.

Hal itu tak sepenuhnya salah karena saat ini saya menjalin hubungan dengan lelaki yang terpaut 7 tahun lebih tua dari saya. Dan keyakinan yang saya pendam dari zaman sekolah terbukti; hubungan berjalan sangat menyenangkan, ia lebih menghargai komitmen dalam hubungan, dan kekasih saya memiliki kalender masa depan. Memang, dari awal memutuskan untuk menjalin hubungan pernikahan sudah menjadi perbincangan. Kini, kami sedang merancang bagaimana menciptakan sebuah pernikahan yang selalu dapat dikenang namun tidak menyulitkan kehidupan ekonomi kedepannya. Hal-hal berikut ini dapat menjadi pertimbangan untuk menghelat pernikahan yang diidam-idamkan.

·         1. Menyiapkan dana pernikahan
Terlepas dari pernikahan yang ingin diadakan nantinya; mewah maupun sederhana; mempersiapkan anggaran pernikahan dari jauh hari merupakan hal utama yang harus dilakukan. Dilansir dari pengalaman teman dan saudara yang sudah lebih dulu melangkah ke jenjang pernikahan, dana mencakup 2 aspek: dana utama (sewa gedung resepsi, seragam pengantin bergantung budaya mempelai, makanan, dan segala keperluan vital lain) serta dana darurat. Memang sebagai pasangan yang akan berbahagia kita menghindari terjadi hal-hal diluar dugaan. Namun menganggarkan dana tak terduga tidak sepenuhnya salah. Karena saat ini saya belum mendapat pekerjaan pasti (masih terhitung freelance), saya dan kekasih mengurangi sementara intensitas traveling kami. Ya, kami pasangan petualang. Jika ingin jalan-jalan berdua selalu terlontar: “tunda dulu ya travelingnya. Uangnya ditimbun aja untuk menikah dan bulan madu impian”. Berasa gimana hati ini, mencapai impian memang membutuhkan pernikahan bukan?

·         2. Menyiapkan konsep pernikahan yang diinginkan
Karena kami adalah pasangan yang menyukai perjalanan dan petualangan, kami menginginkan konsep yang tak biasa. Bahkan saya menginginkan undangan pernikahan berbentuk boarding pass dan mengimpikan kue pengantin dengan dekorasi pasangan sedang membawa tas ransel.

Konsep merupakan hal yang penting karena tentu pasangan menginginkan pernikahan yang tak terlupakan. Untuk menekan anggaran, manfaatkan kerabat dekat dan teman-teman untuk membantu. Misal: kerahkan teman-teman seperjuangan masa sekolah untuk menjadi ‘wedding organizer’, sahabat yang jago fotografi untuk sesi dokumentasi, saudara yang pintar desain untuk dekorasi pelaminan (useful untuk yang ingin konsep outdoor seperti aku). Biaya yang nantinya berlebih bisa dialokasikan untuk keperluan yang lain.

·         3. Menghindari Hutang
Prinsip ini merupakan isu yang sensitif. Saya dan kekasih sudah memiliki komitmen awal untuk tidak menimbun hutang demi menginginkan pernikahan idaman yang sempurna. Karena adanya hutang biasanya menjadi sandungan kecil, bahkan menjadi besar dalam permasalahan rumah tangga di masa yang akan datang.

Bersikap bijak juga tak kalah penting dalam menggunakan kartu kredit, atau jika ingin mencicil sesuatu yang tidak memungkinkan menggunakan dana cash. Cerdas dalam menahan diri dan memanage keuangan untuk perjalanan masa depan akan menciptakan pernikahan impian yang sesungguhnya.
·      
4. Urgensi Investasi
Untuk pasangan muda yang baru akan melangkah kepada jenjang berikutnya, mungkin belum terpikirkan apa urgensinya investasi? Investasi bukan hanya berbentuk benda seperti emas atau rumah tinggal permanen, namun bisa berupa deposito untuk simpanan jika sudah memiliki anak dan simpanan lainnya. 

Untuk rujukan investasi, Sunlife Financial Indonesia dapat menjadi pilihan untuk menetapkan bentuk investasi seperti apa yang kita butuhkan untuk masa akan datang. Dalam kiprahnya sebagai perusahaan asuransi terkemuka, Sunlife Financial Indonesia menyediakan beragam kebutuhan seperti: Proteksi, Simpanan dan Investasi, Riders, Bancassurance dan Syariah. Produk layanan ini menyediakan investasi asuransi jiwa, kebutuhan pendidikan anak di masa depan, bahkan kebutuhan menabung untuk pergi naik haji dalam produk asuransi Sunlife yang berprinsip Syariah. Sekarang ini saya dan kekasih sudah banyak membicarakan ketertarikan kami menggunakan asurasi Sunlife yang menyediakan beragam produk menjanjikan, selain tunjangan yang didapatkan kekasih saya dari kantor tentu akan melegakan jika ada asuransi tambahan untuk menunjang kehidupan yang lebih baik.

P.S Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Menulis Blogger Sun Anugerah Caraka (SAC) 2015 "Wujudkan Masa Depan Cerah Dengan Perencanaan Keuangan Yang Lebih Baik"

Senin, 24 Agustus 2015

Perjanan Membuahkan Pertemuan Yang Menyenangkan

There are no strangers in here, just friends you haven’t met.. – Roald Dahl

Pepatah diatas adalah quote yang aku suka banget. Sekaligus untuk menghadapi realita bahwa pergi sendirian di Indonesia itu masih merupakan suatu hal yang aneh. Ke kafe sendirian aja dapat tatapan penuh pertanyaan dari orang sekitar, apalagi pergi traveling ke tempat yang jauh dan belum pernah kita kunjungin sebelumnya.

Sebulan lalu waktu lagi asyik berselancar di dunia maya, tiba-tiba aku teriak kegirangan karena ada tawaran menarik traveling ke Bromo. Pas melihat rangkaian tempat yang dikunjungi dan harga yang ditawarkan, tanpa pikir panjang langsung menghubungi agen travel yang bersangkutan. Apalagi pergi ke Bromo melihat matahari terbit dan merasakan sejuknya udara Batu, Malang sudah lumayan lama bertengger di daftar destinasi impian. Ketika mengurus birokrasi (perizinan ke orangtua), sudah tentu pertanyaan yang pertama kali muncul bukan mau pergi kemana tetapi: perginya sama siapa? Sendirian? Pertanyaan yang selalu membuatku menghela napas keheranan. Apa yang salah dengan bepergian sendirian?

Aku selalu memiliki keyakinan, walaupun kita melakukan perjalanan solo kita tidak akan pernah benar-benar sendirian. Dunia ini dihuni 7 miliar manusia, mana mungkin tidak bertemu siapapun di perjalanan. Kalimat sakti yang selalu aku tanamkan sejak traveling jadi impianku di bangku SMA. Seperti pepatah Roald Dahl diatas, didunia ini tidak ada orang yang sungguh asing. Orang asing yang nantinya kita temui di perjalanan adalah teman yang belum pernah kita temui sebelumnya.

Perjalanan, keluar dari zona nyaman
Hal ini terbukti ketika aku dan temanku tiba di Stasiun Kereta Api Senen, Jakarta Pusat yang merupakan tempat pertemuan agen travel yang aku ikuti yang nantinya akan melewati perjalanan ke Malang bersama-sama. Sedang termenung sendirian karena udara diluar yang cukup panas menyengat, satu persatu teman grup yang juga ikut ke Malang menghampiri. Percakapan segera bergulir, karena bagaimanapun aku akan bersama mereka selama 4 hari 3 malam. Benar bukan, kita tidak benar-benar sendiri dalam perjalanan yang kita lalui dalam kehidupan apapun bentuknya.

17 jam menempuh perjalanan di kereta api kelas ekonomi seperti tidak berasa karena sepanjang itu pula aku bertukar cerita dengan banyak sekali orang baru. Inilah esensi yang menjadi kecintaanku kala traveling, mengalahkan foto-foto bagus atau memamerkan perjalanan ke media sosial. Bahwa sesungguhnya perjalanan bukan semata destinasi yang dituju, namun perjalanan itu sendiri. Bertemu orang baru adalah hal yang tak bisa ditukar dengan uang berapapun jumlahnya.

Di Batu, Malang grup perjalanan kami disambut cuaca yang sungguh menyenangkan. Sangat jauh berbeda dengan Jakarta yang penuh polusi dan terik menimbulkan peluh di badan. Hal ini sangat berpengaruh pada pembawaan suasana hati. Aku sangat menikmati perjalanan yang sedang berlangsung, mengunjungi tempat baru yang selama ini hanya kulihat di majalah perjalanan, dan tentunya bertemu dengan sekelompok orang yang memiliki hobi sama. Sejenak aku lupa dengan sumpeknya Jakarta dan permasalahan yang ada di rumah. Semuanya meluap bersama dinginnya udara kota Batu.

Setelah 17 jam di perjalanan, kami tiba di kota Batu, Malang

Mengabadikan momen sebelum berkeliling Museum Angkut, museum menakjubkan di kota Malang

Setelah mengelilingi kota Batu dan berkunjung ke beberapa tempat menarik, kami semua tiba pada bintang utama dalam perjalanan ini: mengejar matahari terbit ke Gunung Bromo sekaligus merayakan ulang tahun Indonesia yang ke-70. Memang kelompok travel kami tidak menggelar upacara bendera secara resmi, namun kami tampaknya memiliki metode sendiri untuk itu. Ketika sedang berada di alam, tak harus berpakaian formal seperti perhelatan di Istana Negara bukan?

Bromo menyambut kami dengan pelukannya yang bersahabat

Bersama mengibarkan sang Saka Merah Putih di Puncak Kawah Bromo. Dirgahayu ke-70 tahun, Indonesia!! Tetaplah berjaya!!

Perjalanan kali ini meninggalkan kesan yang amat mendalam. Selain bertemu dengan ‘orang asing’ baru yang menjelma menjadi teman karib, pertemanan itu bahkan berlanjut sampai kami pulang ke Jakarta. Bahkan selama masih berputar di Malang, rencana trip bersama lagi sudah mengalir kembali. Seakan lupa saat itu kami masih dalam perjalanan, belum kembali ke kota asal masing-masing.


Melangkahlah, teman. Jangan ragu untuk meninggalkan zona nyaman. Melakukan perjalanan, sendiri atau beramai-ramai merupakan sebuah kegiatan yang asyik untuk dilakukan. Ketika perjalanan itulah kita semua bisa menyadari bahwa kita hanya gumpalan kecil dari alam semesta. Dalam perjalanan juga, kita bisa mengenal karakter asli seseorang. Karena di alam, semua tampak asli seperti lukisan indah yang Tuhan ciptakan di permukaan bumi ini. Sama indahnya dengan kebersamaan yang didapat dalam perjalanan.

Selamat Ulang Tahun Indonesia tercinta!!

P.S Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Kompas Travel Fair 2015.

Sabtu, 22 Agustus 2015

17 Agustus 2015: Jangan Lupa Berlibur Ke Luar Negeri

Q: Hobi traveling ya? Wah sama kita. Udah kemana aja?
A: Baru di Indonesia aja kok, belum pelesir ke negara orang
Q: Iyalah. Indonesia itu udah bagus, gak perlu kita pergi ke luar negeri. Semuanya ada disini ngapain jauh-jauh ke benua orang?

Semburat mentari menyeruak dari Bukit Petigen, Bromo. Kantuk hilang seketika :0

Percakapan yang aku yakin sering terjadi di antara orang Indonesia. Entah untuk keberapa kalinya terjadi lagi beberapa hari yang lalu saat aku sedang berada di Kota Malang, mempersiapkan diri untuk mengejar sunrise di Gunung Bromo. Kala itu pukul setengah 2 pagi; aku, teman grup travelku dan pejalan lain yang memiliki niat sama, terlihat memenuhi jalan di depan homestay yang aku inapi.

Seketika pertanyaan yang terdengar singkat itu memenuhi kepalaku. Aku merenung, bahkan ketika sudah berada diatas mobil 4wd yang akan membawa rombongan menuju Taman Nasional Bromo, Tengger dan Semeru. Aku bahkan sudah tak peduli dengan udara minus yang menemani perjalananku membelah Desa Tumpang. Yang kupikirkan adalah, apakah iya memupuk nasionalisme untuk negara tercinta itu berarti tidak boleh bepergian ke luar negeri? Sebesar itukah rasa inferior Indonesia sebagai negara yang besar?

Aku tidak menyalahkan jika banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat seperti itu. Indonesia adalah negara besar, seonggok surga yang sukses membuat orang asing berdecak kagum. Bukan, bukan kagum. Lebih tepatnya iri. Iri dengan keindahan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke hingga membuat mereka rela menyeberang ribuan kilometer untuk mereguk keindahan yang tersedia disini.

Aku bukanlah orang yang nasionalis, karena aku; begitu juga banyak orang Indonesia lain diluar sana; memiliki cara sendiri untuk mencintai tanah kelahirannya. Tahun 2015 merupakan era dimana banyak orang Indonesia mewujudkan rasa nasionalismenya dengan melakukan perjalanan, yang digadang sebagai metode efektif untuk menebalkan kadar nasionalisme dalam hidup. Aku senang melakukan perjalanan, bukan untuk mengikuti tren; tapi untuk mengetuk pintu hati: hei, dunia ini sangatlah luas. Waktumu akan terbuang jika hanya berdiam di satu tempat saja.

Take your step and see the world. Indonesia is dangerously beautiful!

Kembali pada pertanyaan awal, nasionalisme bukan berarti sebagai bangsa besar kita lantas menutup diri pada budaya luar. Menurut penulis, justru melancong ke luar negeri merupakan strategi yang bagus untuk perlahan menumbuhkan kadar nasionalisme itu sendiri. Tak bisa disangkal, kita sebagai warga negara Indonesia turut menumpuk iri pada negara luar: transportasi umum yang sudah jauh lebih maju, pergi kemanapun praktis, manajemen pariwisata yang tertata, masyarakatnya yang sadar akan kebersihan, diikuti pertanyaan: kapan ya kita bisa seperti mereka?

Pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan melakukan perjalanan ke luar negeri. Selain membuka wawasan kita tentang realitas dunia, memperkaya diri dengan kebudayaan yang beragam, sembari berlibur kita dapat mempelajari bagaimana pemerintah negara yang kita kunjungi tersebut menata turisme mereka. Memperhatikan bagaimana warga asing membuang sampah dan bersikap terhadap peraturan yang berlaku di negara mereka, kiranya dapat kita jadikan riset kecil-kecilan untuk kemudian kita kembangkan ketika pulang ke Indonesia. Mengembangkan pariwisata Indonesia=membantu pemerintah Indonesia.

Sekali lagi, nasionalisme bukan perkara destinasi kawan. Dalam atau luar negeri hanyalah rute yang akan kita lalui, yang paling penting adalah apa yang kita dapatkan dalam perjalanan itu yang kedepannya kita jadikan contoh di negara sendiri. Jangan menunggu negara, kita bisa mengembangkan pariwisata dimulai dengan cara kita sendiri. Jangan bandingkan Indonesia dengan negara lain, karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jangan larut dalam bersenang-senang, promosikan keindahan Indonesia kepada masyarakat dunia. Yuk, sisihkan waktumu untuk berlibur ke luar negeri, perlahan nasionalisme akan mengikuti.
*****
“kak, udah sampai. Jangan bengong. Ayo turun, masa udah jauh kesini ketinggalan sunrise. Kita juga kan mau upacara bendera kecil-kecilan, kibarin bendera di puncak kawah kak!!”, celotehan teman dalam rombonganku membuyarkan lamunanku yang sedari tadi melanglang buana. Aku sudah tiba di pos penanjakan yang ramai oleh para pendaki yang memiliki kesamaan tujuan: menyapa matahari pagi serta merayakan ulangtahun Indonesia.

Ah. Hari ini Indonesia kian bertambah tua. 70 tahun sudah aku tinggal di negara yang penuh lika liku dan dinamika permasalahan mendera. Walaupun begitu, aku cinta Indonesia. Cinta yang masih terus dipupuk, meskipun tak ada pernik merah putih di pelosok kamarku. Aku cinta negara ini, dengan caraku yang belum tentu orang lain dapat memahami. Dan tentu saja, mimpiku menapakkan kaki ke tanah asing tetap tersusun rapi dalam buku impian yang pada waktunya nanti kuyakin akan terwujud. Nasionalisme, itu ada dalam hatiku yang saat ini siap untuk merekam lukisan indah Tuhan lain terbentang didepan mata: Gunung Bromo.

Dirgahayu ke-70 Indonesia!

Kabut bercampur debu turut menyambut bertambahnya usia Indonesia tercinta. Dear Bromo, see you next time!!

P.S Tulisan ini disertakan dalam lomba "Jalan-Jalan Nasionalisme" yang diadakan Travel On Wego Indonesia.