Senin, 24 Agustus 2015

Perjanan Membuahkan Pertemuan Yang Menyenangkan

There are no strangers in here, just friends you haven’t met.. – Roald Dahl

Pepatah diatas adalah quote yang aku suka banget. Sekaligus untuk menghadapi realita bahwa pergi sendirian di Indonesia itu masih merupakan suatu hal yang aneh. Ke kafe sendirian aja dapat tatapan penuh pertanyaan dari orang sekitar, apalagi pergi traveling ke tempat yang jauh dan belum pernah kita kunjungin sebelumnya.

Sebulan lalu waktu lagi asyik berselancar di dunia maya, tiba-tiba aku teriak kegirangan karena ada tawaran menarik traveling ke Bromo. Pas melihat rangkaian tempat yang dikunjungi dan harga yang ditawarkan, tanpa pikir panjang langsung menghubungi agen travel yang bersangkutan. Apalagi pergi ke Bromo melihat matahari terbit dan merasakan sejuknya udara Batu, Malang sudah lumayan lama bertengger di daftar destinasi impian. Ketika mengurus birokrasi (perizinan ke orangtua), sudah tentu pertanyaan yang pertama kali muncul bukan mau pergi kemana tetapi: perginya sama siapa? Sendirian? Pertanyaan yang selalu membuatku menghela napas keheranan. Apa yang salah dengan bepergian sendirian?

Aku selalu memiliki keyakinan, walaupun kita melakukan perjalanan solo kita tidak akan pernah benar-benar sendirian. Dunia ini dihuni 7 miliar manusia, mana mungkin tidak bertemu siapapun di perjalanan. Kalimat sakti yang selalu aku tanamkan sejak traveling jadi impianku di bangku SMA. Seperti pepatah Roald Dahl diatas, didunia ini tidak ada orang yang sungguh asing. Orang asing yang nantinya kita temui di perjalanan adalah teman yang belum pernah kita temui sebelumnya.

Perjalanan, keluar dari zona nyaman
Hal ini terbukti ketika aku dan temanku tiba di Stasiun Kereta Api Senen, Jakarta Pusat yang merupakan tempat pertemuan agen travel yang aku ikuti yang nantinya akan melewati perjalanan ke Malang bersama-sama. Sedang termenung sendirian karena udara diluar yang cukup panas menyengat, satu persatu teman grup yang juga ikut ke Malang menghampiri. Percakapan segera bergulir, karena bagaimanapun aku akan bersama mereka selama 4 hari 3 malam. Benar bukan, kita tidak benar-benar sendiri dalam perjalanan yang kita lalui dalam kehidupan apapun bentuknya.

17 jam menempuh perjalanan di kereta api kelas ekonomi seperti tidak berasa karena sepanjang itu pula aku bertukar cerita dengan banyak sekali orang baru. Inilah esensi yang menjadi kecintaanku kala traveling, mengalahkan foto-foto bagus atau memamerkan perjalanan ke media sosial. Bahwa sesungguhnya perjalanan bukan semata destinasi yang dituju, namun perjalanan itu sendiri. Bertemu orang baru adalah hal yang tak bisa ditukar dengan uang berapapun jumlahnya.

Di Batu, Malang grup perjalanan kami disambut cuaca yang sungguh menyenangkan. Sangat jauh berbeda dengan Jakarta yang penuh polusi dan terik menimbulkan peluh di badan. Hal ini sangat berpengaruh pada pembawaan suasana hati. Aku sangat menikmati perjalanan yang sedang berlangsung, mengunjungi tempat baru yang selama ini hanya kulihat di majalah perjalanan, dan tentunya bertemu dengan sekelompok orang yang memiliki hobi sama. Sejenak aku lupa dengan sumpeknya Jakarta dan permasalahan yang ada di rumah. Semuanya meluap bersama dinginnya udara kota Batu.

Setelah 17 jam di perjalanan, kami tiba di kota Batu, Malang

Mengabadikan momen sebelum berkeliling Museum Angkut, museum menakjubkan di kota Malang

Setelah mengelilingi kota Batu dan berkunjung ke beberapa tempat menarik, kami semua tiba pada bintang utama dalam perjalanan ini: mengejar matahari terbit ke Gunung Bromo sekaligus merayakan ulang tahun Indonesia yang ke-70. Memang kelompok travel kami tidak menggelar upacara bendera secara resmi, namun kami tampaknya memiliki metode sendiri untuk itu. Ketika sedang berada di alam, tak harus berpakaian formal seperti perhelatan di Istana Negara bukan?

Bromo menyambut kami dengan pelukannya yang bersahabat

Bersama mengibarkan sang Saka Merah Putih di Puncak Kawah Bromo. Dirgahayu ke-70 tahun, Indonesia!! Tetaplah berjaya!!

Perjalanan kali ini meninggalkan kesan yang amat mendalam. Selain bertemu dengan ‘orang asing’ baru yang menjelma menjadi teman karib, pertemanan itu bahkan berlanjut sampai kami pulang ke Jakarta. Bahkan selama masih berputar di Malang, rencana trip bersama lagi sudah mengalir kembali. Seakan lupa saat itu kami masih dalam perjalanan, belum kembali ke kota asal masing-masing.


Melangkahlah, teman. Jangan ragu untuk meninggalkan zona nyaman. Melakukan perjalanan, sendiri atau beramai-ramai merupakan sebuah kegiatan yang asyik untuk dilakukan. Ketika perjalanan itulah kita semua bisa menyadari bahwa kita hanya gumpalan kecil dari alam semesta. Dalam perjalanan juga, kita bisa mengenal karakter asli seseorang. Karena di alam, semua tampak asli seperti lukisan indah yang Tuhan ciptakan di permukaan bumi ini. Sama indahnya dengan kebersamaan yang didapat dalam perjalanan.

Selamat Ulang Tahun Indonesia tercinta!!

P.S Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Kompas Travel Fair 2015.

Sabtu, 22 Agustus 2015

17 Agustus 2015: Jangan Lupa Berlibur Ke Luar Negeri

Q: Hobi traveling ya? Wah sama kita. Udah kemana aja?
A: Baru di Indonesia aja kok, belum pelesir ke negara orang
Q: Iyalah. Indonesia itu udah bagus, gak perlu kita pergi ke luar negeri. Semuanya ada disini ngapain jauh-jauh ke benua orang?

Semburat mentari menyeruak dari Bukit Petigen, Bromo. Kantuk hilang seketika :0

Percakapan yang aku yakin sering terjadi di antara orang Indonesia. Entah untuk keberapa kalinya terjadi lagi beberapa hari yang lalu saat aku sedang berada di Kota Malang, mempersiapkan diri untuk mengejar sunrise di Gunung Bromo. Kala itu pukul setengah 2 pagi; aku, teman grup travelku dan pejalan lain yang memiliki niat sama, terlihat memenuhi jalan di depan homestay yang aku inapi.

Seketika pertanyaan yang terdengar singkat itu memenuhi kepalaku. Aku merenung, bahkan ketika sudah berada diatas mobil 4wd yang akan membawa rombongan menuju Taman Nasional Bromo, Tengger dan Semeru. Aku bahkan sudah tak peduli dengan udara minus yang menemani perjalananku membelah Desa Tumpang. Yang kupikirkan adalah, apakah iya memupuk nasionalisme untuk negara tercinta itu berarti tidak boleh bepergian ke luar negeri? Sebesar itukah rasa inferior Indonesia sebagai negara yang besar?

Aku tidak menyalahkan jika banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat seperti itu. Indonesia adalah negara besar, seonggok surga yang sukses membuat orang asing berdecak kagum. Bukan, bukan kagum. Lebih tepatnya iri. Iri dengan keindahan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke hingga membuat mereka rela menyeberang ribuan kilometer untuk mereguk keindahan yang tersedia disini.

Aku bukanlah orang yang nasionalis, karena aku; begitu juga banyak orang Indonesia lain diluar sana; memiliki cara sendiri untuk mencintai tanah kelahirannya. Tahun 2015 merupakan era dimana banyak orang Indonesia mewujudkan rasa nasionalismenya dengan melakukan perjalanan, yang digadang sebagai metode efektif untuk menebalkan kadar nasionalisme dalam hidup. Aku senang melakukan perjalanan, bukan untuk mengikuti tren; tapi untuk mengetuk pintu hati: hei, dunia ini sangatlah luas. Waktumu akan terbuang jika hanya berdiam di satu tempat saja.

Take your step and see the world. Indonesia is dangerously beautiful!

Kembali pada pertanyaan awal, nasionalisme bukan berarti sebagai bangsa besar kita lantas menutup diri pada budaya luar. Menurut penulis, justru melancong ke luar negeri merupakan strategi yang bagus untuk perlahan menumbuhkan kadar nasionalisme itu sendiri. Tak bisa disangkal, kita sebagai warga negara Indonesia turut menumpuk iri pada negara luar: transportasi umum yang sudah jauh lebih maju, pergi kemanapun praktis, manajemen pariwisata yang tertata, masyarakatnya yang sadar akan kebersihan, diikuti pertanyaan: kapan ya kita bisa seperti mereka?

Pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan melakukan perjalanan ke luar negeri. Selain membuka wawasan kita tentang realitas dunia, memperkaya diri dengan kebudayaan yang beragam, sembari berlibur kita dapat mempelajari bagaimana pemerintah negara yang kita kunjungi tersebut menata turisme mereka. Memperhatikan bagaimana warga asing membuang sampah dan bersikap terhadap peraturan yang berlaku di negara mereka, kiranya dapat kita jadikan riset kecil-kecilan untuk kemudian kita kembangkan ketika pulang ke Indonesia. Mengembangkan pariwisata Indonesia=membantu pemerintah Indonesia.

Sekali lagi, nasionalisme bukan perkara destinasi kawan. Dalam atau luar negeri hanyalah rute yang akan kita lalui, yang paling penting adalah apa yang kita dapatkan dalam perjalanan itu yang kedepannya kita jadikan contoh di negara sendiri. Jangan menunggu negara, kita bisa mengembangkan pariwisata dimulai dengan cara kita sendiri. Jangan bandingkan Indonesia dengan negara lain, karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jangan larut dalam bersenang-senang, promosikan keindahan Indonesia kepada masyarakat dunia. Yuk, sisihkan waktumu untuk berlibur ke luar negeri, perlahan nasionalisme akan mengikuti.
*****
“kak, udah sampai. Jangan bengong. Ayo turun, masa udah jauh kesini ketinggalan sunrise. Kita juga kan mau upacara bendera kecil-kecilan, kibarin bendera di puncak kawah kak!!”, celotehan teman dalam rombonganku membuyarkan lamunanku yang sedari tadi melanglang buana. Aku sudah tiba di pos penanjakan yang ramai oleh para pendaki yang memiliki kesamaan tujuan: menyapa matahari pagi serta merayakan ulangtahun Indonesia.

Ah. Hari ini Indonesia kian bertambah tua. 70 tahun sudah aku tinggal di negara yang penuh lika liku dan dinamika permasalahan mendera. Walaupun begitu, aku cinta Indonesia. Cinta yang masih terus dipupuk, meskipun tak ada pernik merah putih di pelosok kamarku. Aku cinta negara ini, dengan caraku yang belum tentu orang lain dapat memahami. Dan tentu saja, mimpiku menapakkan kaki ke tanah asing tetap tersusun rapi dalam buku impian yang pada waktunya nanti kuyakin akan terwujud. Nasionalisme, itu ada dalam hatiku yang saat ini siap untuk merekam lukisan indah Tuhan lain terbentang didepan mata: Gunung Bromo.

Dirgahayu ke-70 Indonesia!

Kabut bercampur debu turut menyambut bertambahnya usia Indonesia tercinta. Dear Bromo, see you next time!!

P.S Tulisan ini disertakan dalam lomba "Jalan-Jalan Nasionalisme" yang diadakan Travel On Wego Indonesia.

Senin, 10 Agustus 2015

Menjadi #LebihBaik Setelah Lebaran

Usai sudah ibadah puasa yang telah dijalankan selama satu bulan lamanya. Ketika takbir berkumandang di penghujung bulan Ramadhan, kala itulah umat muslim di Indonesia bahkan seluruh dunia mempersiapkan diri untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri atau kerap disebut lebaran. Di hari lebaran ini seluruh manusia dilahirkan kembali layaknya bayi yang masih suci.

Sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar, Indonesia banyak menelurkan tradisi yang erat kaitannya dengan aktivitas yang dilakukan bersama-sama. Tampaknya tak berlebihan jika Indonesia kerap dicap sebagai bangsa yang senang berkumpul, sangat sesuai dengan istilah "makan gak makan yang penting kumpul". Salah satunya halal bihalal.

Bagaimana sebenarnya awal mula terciptanya halal bihalal? Konon, tradisi halal bihalal dipelopori oleh KGPAA Mangkunegara I atau lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Dengan tujuan efisiensi waktu dan biaya; setelah selesai melaksanakan shalat Iedul Fitri, Pangeran mengumpulkan para punggawa dan prajuritnya di balai istana untuk kemudian melakukan sungkeman kepada raja dan permaisuri. Kegiatan Pangeran ini kemudian ditiru oleh banyak organisasi Islam dan pemerintah dengan istilah halal bihalal yang kedepannya tak hanya umat Islam saja namun mencakup berbagai kalangan agama. Walaupun dikenal di negara yang penduduknya beragama Islam namun ada perbedaan mencolok antara halal bihalal di Indonesia dengan negara Timur Tengah. Ternyata di Timur Tengah, setelah shalat Ied tak ada tradisi bermaafan massal seperti yang lumrah dilakukan di Indonesia.

Selain itu, tradisi halal bihalal kala lebaran merupakan percampuran budaya Jawa dengan Islam. Umat Islam di daerah Jawa (yang umumnya masih sangat kuat tradisinya) melakukan sungkeman kepada orang tua (yang lebih utama adalah orang yang dituakan dalam keluarga) yang bertujuan lambang hormat dan permohonan maaf atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

Penulis merayakan hari raya lebaran memang sudah tidak terlalu konvensional mengingat penulis dan keluarga besar bukan berasal dari suku Jawa, dengan kata lain tradisi tetap dijunjung tinggi namun tidak sebesar era dulu. Pasca melaksanakan shalat ied, meminta maaf kepada orang tua dan kerabat dekat dilakukan dengan cara modern. Kemudian halal bihalal ke rumah saudara-saudara yang selama ini jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Sungkem tidak lagi ada karena dalam keluarga kerabat sesepuh (yang dituakan) telah banyak berpulang. Yang masih bertahan hingga kini yaitu mencicipi kue manis ketika berkunjung ke rumah kerabat, nyekar ke makam kerabat dan berbagi angpau (THR) J


Daging Pedas buatan tante dan mama gak akan ditolak. Enak!!

Selain silaturahmi, hunting kue enak dirumah kerabat yang dikunjungi wajib hukumnya :9

There is always space in my tummy for sweet stuff.

Terlepas dari makanan enak yang gak pernah luput di hari raya lebaran, yang paling utama adalah makna lebaran itu sendiri. Lebaran selain merupakan momen suci bagi umat Islam, juga merupakan momen dimana kita menyampaikan maaf kita untuk kesalahan yang luput dari kesadaran kita selama ini.

Yang perlu digarisbawahi adalah, sebagai manusia yang lahir untuk bersosialisasi dengan sesamanya tentu tak pernah lepas dari kesalahan. Kemungkinan kita menyakiti hati seseorang dapat muncul kapan saja tak hanya kala bulan Ramadhan. Namun karena tradisi halal bihalal, berkumpul bersama sudah melekar dengan lebaran tak sedikit orang yang menunggu meminta maaf hingga hari raya lebaran tiba. Seperti ungkapan terkenal, “memaafkan urusannya waktu lebaran” sehingga “mohon maaf lahir dan batin” lebih seperti kewajiban saat lebaran. Padahal hidup kita akan menjadi #lebihbaik dan tenang saat hati kita terbebas dari kebencian dengan meminta maaf dan dimaafkan oleh orang lain. Seperti hadits berikut ini.

"Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Mari jadikan hidup kita #lebihbaik dengan saling memaafkan

P.S Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Competition Lebaran #LEBIHBAIK Sunlife.