Sabtu, 22 Agustus 2015

17 Agustus 2015: Jangan Lupa Berlibur Ke Luar Negeri

Q: Hobi traveling ya? Wah sama kita. Udah kemana aja?
A: Baru di Indonesia aja kok, belum pelesir ke negara orang
Q: Iyalah. Indonesia itu udah bagus, gak perlu kita pergi ke luar negeri. Semuanya ada disini ngapain jauh-jauh ke benua orang?

Semburat mentari menyeruak dari Bukit Petigen, Bromo. Kantuk hilang seketika :0

Percakapan yang aku yakin sering terjadi di antara orang Indonesia. Entah untuk keberapa kalinya terjadi lagi beberapa hari yang lalu saat aku sedang berada di Kota Malang, mempersiapkan diri untuk mengejar sunrise di Gunung Bromo. Kala itu pukul setengah 2 pagi; aku, teman grup travelku dan pejalan lain yang memiliki niat sama, terlihat memenuhi jalan di depan homestay yang aku inapi.

Seketika pertanyaan yang terdengar singkat itu memenuhi kepalaku. Aku merenung, bahkan ketika sudah berada diatas mobil 4wd yang akan membawa rombongan menuju Taman Nasional Bromo, Tengger dan Semeru. Aku bahkan sudah tak peduli dengan udara minus yang menemani perjalananku membelah Desa Tumpang. Yang kupikirkan adalah, apakah iya memupuk nasionalisme untuk negara tercinta itu berarti tidak boleh bepergian ke luar negeri? Sebesar itukah rasa inferior Indonesia sebagai negara yang besar?

Aku tidak menyalahkan jika banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat seperti itu. Indonesia adalah negara besar, seonggok surga yang sukses membuat orang asing berdecak kagum. Bukan, bukan kagum. Lebih tepatnya iri. Iri dengan keindahan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke hingga membuat mereka rela menyeberang ribuan kilometer untuk mereguk keindahan yang tersedia disini.

Aku bukanlah orang yang nasionalis, karena aku; begitu juga banyak orang Indonesia lain diluar sana; memiliki cara sendiri untuk mencintai tanah kelahirannya. Tahun 2015 merupakan era dimana banyak orang Indonesia mewujudkan rasa nasionalismenya dengan melakukan perjalanan, yang digadang sebagai metode efektif untuk menebalkan kadar nasionalisme dalam hidup. Aku senang melakukan perjalanan, bukan untuk mengikuti tren; tapi untuk mengetuk pintu hati: hei, dunia ini sangatlah luas. Waktumu akan terbuang jika hanya berdiam di satu tempat saja.

Take your step and see the world. Indonesia is dangerously beautiful!

Kembali pada pertanyaan awal, nasionalisme bukan berarti sebagai bangsa besar kita lantas menutup diri pada budaya luar. Menurut penulis, justru melancong ke luar negeri merupakan strategi yang bagus untuk perlahan menumbuhkan kadar nasionalisme itu sendiri. Tak bisa disangkal, kita sebagai warga negara Indonesia turut menumpuk iri pada negara luar: transportasi umum yang sudah jauh lebih maju, pergi kemanapun praktis, manajemen pariwisata yang tertata, masyarakatnya yang sadar akan kebersihan, diikuti pertanyaan: kapan ya kita bisa seperti mereka?

Pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan melakukan perjalanan ke luar negeri. Selain membuka wawasan kita tentang realitas dunia, memperkaya diri dengan kebudayaan yang beragam, sembari berlibur kita dapat mempelajari bagaimana pemerintah negara yang kita kunjungi tersebut menata turisme mereka. Memperhatikan bagaimana warga asing membuang sampah dan bersikap terhadap peraturan yang berlaku di negara mereka, kiranya dapat kita jadikan riset kecil-kecilan untuk kemudian kita kembangkan ketika pulang ke Indonesia. Mengembangkan pariwisata Indonesia=membantu pemerintah Indonesia.

Sekali lagi, nasionalisme bukan perkara destinasi kawan. Dalam atau luar negeri hanyalah rute yang akan kita lalui, yang paling penting adalah apa yang kita dapatkan dalam perjalanan itu yang kedepannya kita jadikan contoh di negara sendiri. Jangan menunggu negara, kita bisa mengembangkan pariwisata dimulai dengan cara kita sendiri. Jangan bandingkan Indonesia dengan negara lain, karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jangan larut dalam bersenang-senang, promosikan keindahan Indonesia kepada masyarakat dunia. Yuk, sisihkan waktumu untuk berlibur ke luar negeri, perlahan nasionalisme akan mengikuti.
*****
“kak, udah sampai. Jangan bengong. Ayo turun, masa udah jauh kesini ketinggalan sunrise. Kita juga kan mau upacara bendera kecil-kecilan, kibarin bendera di puncak kawah kak!!”, celotehan teman dalam rombonganku membuyarkan lamunanku yang sedari tadi melanglang buana. Aku sudah tiba di pos penanjakan yang ramai oleh para pendaki yang memiliki kesamaan tujuan: menyapa matahari pagi serta merayakan ulangtahun Indonesia.

Ah. Hari ini Indonesia kian bertambah tua. 70 tahun sudah aku tinggal di negara yang penuh lika liku dan dinamika permasalahan mendera. Walaupun begitu, aku cinta Indonesia. Cinta yang masih terus dipupuk, meskipun tak ada pernik merah putih di pelosok kamarku. Aku cinta negara ini, dengan caraku yang belum tentu orang lain dapat memahami. Dan tentu saja, mimpiku menapakkan kaki ke tanah asing tetap tersusun rapi dalam buku impian yang pada waktunya nanti kuyakin akan terwujud. Nasionalisme, itu ada dalam hatiku yang saat ini siap untuk merekam lukisan indah Tuhan lain terbentang didepan mata: Gunung Bromo.

Dirgahayu ke-70 Indonesia!

Kabut bercampur debu turut menyambut bertambahnya usia Indonesia tercinta. Dear Bromo, see you next time!!

P.S Tulisan ini disertakan dalam lomba "Jalan-Jalan Nasionalisme" yang diadakan Travel On Wego Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar