Rabu, 26 Februari 2014

Pulang, Perhentian Sementara

“Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali.”

            Untaian kata indah dari salah satu penulis perjalanan favoritku yang telah melangkah jauh. Sesorang yang menginspirasiku agar tidak takut mengintip jendela dunia. Bahwa apa yang ada di luar sana tidak selalu menakutkan. Karena bagiku takut ialah jika kita direngkuh oleh keraguan diri sendiri untuk melangkah, mereguk pengalaman yang kita dapat dari apa yang dinamakan perjalanan. Walaupun ketika kita telah berjalan, sejauh apa pun, kita akan melalui suatu proses yang kadang ditakuti namun sekaligus dinanti oleh pejalan, yaitu pulang.
            Aku adalah seorang yang selalu haus akan rasa ingin tahu. Kaki ini kerap tak betah jika menetap di suatu tempat terlalu lama. Bagiku rumah adalah tempat singgah yang selalu menerima kita kemanapun kita telah pergi dan akan kembali. Aku layaknya bocah kecil yang diberi mainan baru ketika sedang berkemas. Ya, aku selalu diliputi rasa bahagia jika sedang berkemas, merencanakan perjalanan, kemana pun, sejauh apa pun, selama aku bisa mengisi tas ransel yang kosong ini dengan guru baru yang kujumpai di jalan. Pengalaman. Aku akan terus melangkah. Manusia terlahir di dunia ini untuk menjelajah, bukan?
            Perjalanan selalu membuatku bergairah. Dengan tas ransel menempel di punggung, aku pergi ke suatu tempat yang semula asing bagiku. Kutinggalkan seluruh zona nyamanku di rumah. Kusiapkan hati ini untuk membuka diri terhadap apa pun yang akan kutemui di jalan nanti. Kepalaku penuh dengan pertanyaan akan apa yang ada di luar sana. Bertemu dengan orang asing, memanjakan indera perasa ini dengan makanan yang sama sekali baru pasti akan menyenangkan. Berbagai rencana memenuhi pikiranku.
            Aku seakan tak peduli dengan pembicaraan orang di sekitar yang kerap mengusik cita-citaku untuk melihat dunia. “untuk apa sih? Pelesiran itu buang uang. Capek di jalan. Memang dapat apa dari jalan-jalan?” perkataan itu tak lantas membuatku berpikir untuk melakukan sebuah pembuktian. Pernyataan dan pertanyaan akan meluncur karena apa yang kita cintai, belum tentu disukai oleh orang lain. Untuk melakukan perjalanan kita tidak diwajibkan untuk menunggu persetujuan dari orang lain.
          Aku berjalan melihat dunia bukan untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku telah mencapai suatu tempat. Aku melangkah karena bagiku berjalan adalah candu. Aku jatuh cinta dengan proses yang dilaluinya. Membuat rencana. Mengumpulkan informasi. Melangkah. Mewujudkan impian. Sampai ketika pulang. Pulang untuk kembali merajut rasa ingin tahu dan keinginan ini untuk terus melangkah. Pulang bukan berarti menyerah. Pulang hanyalah berhenti sementara, mengistirahatkan langkah.
            Karena perjalanan adalah rumah untukku. Ketika aku didera rasa lelah dan rasa ingin tahuku menipis untuk sementara waktu, saat itulah aku akan bertemu dengan rumah. Walau pun bukan tempat tinggal permanen, namun ketika dalam perjalanan hati kita tertambat maka aku sudah bertemu dengan rumah. Bandara yang sibuk menjadi tempat untuk pulang dan pergi beragam manusia, stasiun, rumah penduduk yang menyajikan makanan di rumah bahkan pasir pantai layaknya tepung yang memeluk kakiku bagiku adalah rumah. Tempat yang seakan mengobati kerinduan pada rumah yang selalu setia menanti, sekaligus tempat yang akan mendorongku untuk tidak ragu melangkah. Bercakap dengan warga lokal yang kutemui bahkan dapat mengingatkan aku untuk tak lupa pulang. Menikmati ciptaan Tuhan di luar sana yang menunggu untuk dilihat, dilestarikan, dan dicicipi dengan panca indera oleh kita. Manusia.
            Ah. Ketika menulis ini pun aku dihinggapi kerinduan yang membuncah untuk kembali menjejakkan langkah. Keluarga di rumah sudah maklum aku kerap melirik penuh rindu pada ransel kesayangan yang teronggok di pojokan kamar. Tak sabar rasanya aku menemukan kejutan baru yang selama ini hanya kutemui didalam buku. Buku adalah jendela dunia. Jendela awal untuk melihat dunia yang sebenarnya.
            Jangan bertanya padaku. Jangan menegaskan kepastian yang malah membuatku jengah. Ya. Jika ingin tahu, aku bukanlah backpacker, flashpacker, turis, apa pun itu. aku berjalan bukan untuk pencapaian gelar. Aku menyayangi ranselku. Aku bahagia jika kaki ini masih bersemangat untuk berjalan, meninggalkan jejak, jauh dari rumah. Aku adalah seorang biasa yang sedang dipenuhi hasrat besar untuk melangkah. Melangkah untuk berangkat, melangkah untuk pulang.       
              Jangan menatapku dengan rasa ingin tahu dilanjutkan pertanyaan, “sudah berapa negara yang kamu kunjungi?”. Sudah pasti aku tak akan menjawabnya. Karena perjalanan yang kulakukan bukan perlombaan nominal tempat yang sudah dikunjungi. Aku berjalan keluar, menghirup udara segar untuk mengenali siapa diriku. Untuk merekam potongan cerita yang dapat menjadi memori indah nantinya. Mencecap angin di tempat asing, tersesat dalam kebebasan adalah kebahagiaan untukku. Aku akan pulang tidak dengan kantong oleh-oleh. Aku akan pulang dengan deretan foto dan segudang cerita agar dapat menginspirasi untuk melakukan perjalanan. Pulang, bagiku hanyalah berhenti sementara untuk menemui kembali jejak yang masih tercecer di suatu tempat.

Menjejakkan langkah, pergi dan kembali..

PS: Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti #NubieTraveller Monthly Blog Competition: “Pulang” @TravellersID