Problematika
Sawit di Tanah Hijau
Bayangkan
jika kita memiliki sebuah tempat tinggal yang nyaman, keseharian yang penuh
kebahagiaan karena semua kebutuhan kita tersedia disekitar kita. Namun ketika
esok hari terbangun, tiba-tiba semua itu terenggut dari kita. Kita sulit
melakukan apapun karena asap pekat kekuningan menghalangi penglihatan kita,
mata ini tak sanggup lagi menangis saking perihnya, dan dada sangat sesak
karena dipenuhi asap yang tak kunjung habis berdatangan.
Ilustrasi
diatas bukanlah skenario sebuah film namun realita yang sedang terjadi di
Indonesia. Bisa dibilang bukanlah realita karena kebakaran hutan telah terjadi
sejak lama dan dewasa ini semakin parah. Sepanjang tahun 2015, tercatat lahan
hutan yang terbakar mencapai 12 provinsi tersebar di Indonesia dengan
pembakaran terluas berada di Riau mencapai 2.025,42 hektar. Provinsi lain yang
juga turut terdampak yaitu: Kalimantan Barat (900,20 ha), Kalimantan Tengah
(655,78 ha), Jawa Tengah (247,73 ha), Jawa Barat (231,85 ha), Kalimantan
Selatan (185,70 ha), Sumatera Utara (146 ha), Sumatera Selatan (101,57), dan
Jambi (92,50 ha). Bahkan akibat kondisi Indonesia yang sedang dilanda musim
kemarau berkepanjangan, kebakaran telah merambah kawasan taman nasional dan
pemukiman penduduk. Situasi yang menggambarkan, hutan sebagai paru-paru dunia
sudah tak lagi relevan untuk Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan hujan
tropis terbanyak jika dibandingkan negara lain di dunia.
Api melahap bumi Kalimantan tanpa ampun |
Bencana
kabut asap yang berulang, bahkan cenderung kian parah ini berdampak pada banyak
sektor di Indonesia. Selain kerusakan lingkungan, bencana berdampak signifikan
terhadap kesehatan masyarakat Indonesia. Sudah tak terhitung warga yang sesak
napas karena menghirup asap setiap hari, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Bahkan
telah ada korban berjatuhan yang didominasi balita. Hingga kini, masyarakat
awam masih mereka: siapa dalang yang ada dibalik bencana dahsyat ini?
Sawit
adalah penyebabnya. Itu yang banyak diperbincangkan orang termasuk penulis,
jika membahas mengapa kebakaran hutan bukannya membaik namun merajalela di
negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia seperti Indonesia. Ya,
hutan-hutan yang dilalap oleh si jago merah itu dibakar (garis bawah tebal:
dibakar, bukan terbakar) oleh sekelompok orang tidak bertanggungjawab yang
melakukan semua demi kepentingan pribadi.
Mengapa
dibakar? Karena pembakaran lahan merupakan cara yang paling efektif, cepat dan
murah untuk membuka perkebunan sawit yang menguntungkan. Pembakaran hutan juga ‘membuka
lahan pekerjaan baru’ di kawasan terpencil yang luput dari pengawasan
pemerintah, karena ‘bos besar’ yang berada dibalik kerajaan sawit ini kerap
membayar orang untuk membakar hutan. Karena alasan ekonomi, apapun dilakukan
dan bencana pun tak bisa lagi dihindarkan. Semakin murah biaya yang diperlukan
untuk membakar sebuah lahan, keuntungan yang diperoleh si pemilik kebun sawit
nantinya akan semakin besar.
Sebagai
negara besar, hingga kini Indonesia menghadapi dilema yang pelik terkait
tumbuhan penghasil minyak goreng ini. Tahukah kamu bahwa Indonesia merupakan
produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di seluruh dunia, selain Malaysia?[1] Tahun 2015,
Indonesia telah memproduksi 31,5 metrik ton minyak sawit. Minyak sawit adalah
minyak yang paling banyak digunakan di berbagai belahan dunia untuk beragam
keperluan. Mayoritas kegiatan produksi memang dilakukan di negara tropis karena
pertumbuhan pohon sawit membutuhkan suhu yang hangat, matahari dan cukup hujan
agar produk yang dihasilkan maksimal. Efek negatif yang ditimbulkan dari
kegiatan produksi sawit ini berhasil menetapkan Indonesia sebagai penghasil
emisi gas rumah kaca terbesar di dunia saat ini, mengalahkan Amerika Serikat
dan Cina yang selama ini digadang sebagai negara dengan polusi yang berbahaya
karena banyaknya kegiatan produksi. Bahkan negara Barat menjuluki Indonesia
sebagai penjahat lingkungan terbesar di abad 21.[2]
Bijak
dalam Memaknai Alam
Menghadapi fakta mengejutkan diatas berikut kerusakan krusial
dalam berbagai sektor, kita tak sepenuhnya bisa menghakimi sawit dan lantas
menganggapnya musuh terbesar dalam kehidupan. Karena hampir seluruh produk yang
kita gunakan dalam keseharian kita melibatkan sawit didalamnya: bahan makanan,
minyak goreng (sudah tentu), peralatan mandi, camilan yang kita konsumsi bahkan
kosmetik pun mengandung sawit.
Minyak sawit merupakan elemen vital dalam kehidupan
manusia dan keberadaannya membutuhkan tanah subur agar bisa lestari. Dalam hal
ini kontribusi Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan luas sudah melebihi
batas: hutan hancur, lahan dibakar, kehidupan satwa liar di habitatnya semakin
tertekan untuk menimbulkan sawit kedalam kehidupan kita. Ketegasan pemerintah
Indonesia menjadi pertanyaan banyak pihak karena dinilai lamban bahkan
cenderung abai terhadap bencana asap yang sudah berlarut-larut selama puluhan
tahun lamanya. Perizinan pembukaan lahan yang melebihi batas dan alih fungsi
lahan gambut yang sangat masif kepada pihak luar menjadi faktor utama mengapa
Indonesia sampai saat ini masih terbelit dalam bencana asap dan kebakaran
hutan.
Mengerikan jika di masa mendatang generasi baru melihat makhluk luar biasa ini hanya di buku sejarah :') |
Sebagai manusia inilah saatnya kita menebus pengorbanan
alam. Kita tak bisa terus berteriak kepada pemerintah tanpa melakukan suatu
langkah yang berarti. Bukan berarti menghindari sawit dan melakukan langkah
ekstrim, namun berubah menjadi sosok konsumen bijak yang arif dalam memaknai
apa yang sudah alam berikan kepada kita. Salah satu cara yaitu dengan
menggunakan produk sawit yang berkelanjutan. Berkelanjutan yaitu, mengiringi
langkah kita dengan memakai produk dimana kelestarian lingkungan dapat
dipertanggung jawabkan.
Dalam
hal ini, kita sebagai manusia awam dapat merujuk pada RSPO (Roundtable on Sustainable
Palm Oil). RSPO merupakan organisasi yang terbentuk untuk menyatukan
produsen sawit, pengolah, pedagang, organisasi sosial dalam mengembangkan
standar global terhadap minyak sawit yang berkelanjutan. Kedepannya akan
mengedukasi masyarakat luas agar menggunakan produk dalam keseharian hidup
dimana mengandung sawit yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan.
Jadikan sebagai pedoman dalam berbelanja produk yang ramah lingkungan |
Jadilah pahlawan lingkungan dimulai dari diri sendiri |
Sebagai
anggota pendiri, WWF terus menunjukkan komitmennya dalam memperjuangkan edukasi
masyarakat menggunakan produk dengan bahan sawit yang berkelanjutan, melalui
program #BeliYangBaik . Program ini menjelaskan kepada masyarakat bahwa kita
dapat turut andil melestarikan lingkungan dengan jeli membelanjakan kebutuhan
sehari-hari dengan memakai produk yang kandungan sawitnya sudah tersertifikasi
ramah lingkungan, yaitu yang sudah berlabel RSPO.[3]
Selain
itu, komitmen kita menggunakan produk
yang ramah dengan hutan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi produk yang
berlabel FSC (Forest Stewardship Council),
sebuah organisasi nirlaba yang mengedukasi penggunaan produk berlabel ekolabel
dan bertanggungjawab terhadap keseimbangan ekologi. Sertifikasi ini telah
diakui di seluruh dunia dan juga didukung oleh organisasi lingkungan seperti
WWF. Sejauh ini, terdapat 200 perusahaan di Indonesia yang berkomitmen untuk
memiliki sertifikasi FSC yang ramah terhadap lingkungan.[4]
Label produk FSC yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan. |
Mulailah menjadi konsumen bijak dengan produk berlabel ramah hutan. |
Apa yang penulis jelaskan mungkin terdengar berlebihan
dan merepotkan, terlebih harus membedakan produk ketika sedang berbelanja
kebutuhan sehari-hari. Hal lain yaitu, mayoritas produk yang bersertifikasi
adalah produk impor yang belum tentu dapat dijangkau oleh semua pihak. Tetapi,
tanamkanlah keyakinan bahwa walaupun kita bukan orang yang berada dalam
otoritas negara namun kita bisa melakukan sesuatu. Melakukan suatu langkah
besar dimulai dengan lompatan kecil. Langkah kecil yang tak dapat menebus secara
instan kerusakan lingkungan yang timbul akibat kebutuhan manusia Karena apa
yang kita beli adalah apa yang kita dukung.
PS. Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis #BELIYANGBAIK : Sustainable Palm Oil, Gaya Hidup Konsumen Bijak.
[1] Sumber:
dilansir dari http://www.indonesia-investments.com/business/commodities/palm-oil/item166
“Palm Oil” pada 26 Oktober 2015.
[2] Dilansir
dari artikel ‘Erik Meijaard: Indonesia’s Fire Crisis – The Biggest
Environmental Crime of the 21st Century’
[3]
Rincian produk yang berlabel ramah hutan dapat dilihat pada http://www.rspo.org/trademark/trademark-products-gallery.
[4]
Sumber: artikel Baru Ada 200 Perusahaan Ramah Lingkungan di Indonesia dilansir
dari website Forum Hijau Indonesia http://forumhijau.com/baru-ada-200-perusahaan-ramah-lingkungan-di-indonesia/.