“Perjalanan adalah belajar melihat
dunia luar, belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan
yang harus dijalani semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik
nol kita kembali.”
Untaian kata indah dari salah satu penulis perjalanan
favoritku yang telah melangkah jauh. Sesorang yang menginspirasiku agar tidak
takut mengintip jendela dunia. Bahwa apa yang ada di luar sana tidak selalu
menakutkan. Karena bagiku takut ialah jika kita direngkuh oleh keraguan diri
sendiri untuk melangkah, mereguk pengalaman yang kita dapat dari apa yang
dinamakan perjalanan. Walaupun ketika kita telah berjalan, sejauh apa pun, kita
akan melalui suatu proses yang kadang ditakuti namun sekaligus dinanti oleh
pejalan, yaitu pulang.
Aku adalah seorang yang selalu haus akan rasa ingin tahu.
Kaki ini kerap tak betah jika menetap di suatu tempat terlalu lama. Bagiku rumah
adalah tempat singgah yang selalu menerima kita kemanapun kita telah pergi dan
akan kembali. Aku layaknya bocah kecil yang diberi mainan baru ketika sedang
berkemas. Ya, aku selalu diliputi rasa bahagia jika sedang berkemas,
merencanakan perjalanan, kemana pun, sejauh apa pun, selama aku bisa mengisi tas
ransel yang kosong ini dengan guru baru yang kujumpai di jalan. Pengalaman. Aku
akan terus melangkah. Manusia terlahir di dunia ini untuk menjelajah, bukan?
Perjalanan selalu membuatku bergairah. Dengan tas ransel
menempel di punggung, aku pergi ke suatu tempat yang semula asing bagiku. Kutinggalkan
seluruh zona nyamanku di rumah. Kusiapkan hati ini untuk membuka diri terhadap
apa pun yang akan kutemui di jalan nanti. Kepalaku penuh dengan pertanyaan akan
apa yang ada di luar sana. Bertemu dengan orang asing, memanjakan indera perasa
ini dengan makanan yang sama sekali baru pasti akan menyenangkan. Berbagai rencana
memenuhi pikiranku.
Aku seakan tak peduli dengan pembicaraan orang di sekitar
yang kerap mengusik cita-citaku untuk melihat dunia. “untuk apa sih? Pelesiran itu
buang uang. Capek di jalan. Memang dapat apa dari jalan-jalan?” perkataan itu
tak lantas membuatku berpikir untuk melakukan sebuah pembuktian. Pernyataan dan
pertanyaan akan meluncur karena apa yang kita cintai, belum tentu disukai oleh
orang lain. Untuk melakukan perjalanan kita tidak diwajibkan untuk menunggu
persetujuan dari orang lain.
Aku berjalan melihat dunia bukan untuk menunjukkan
kepada orang-orang bahwa aku telah mencapai suatu tempat. Aku melangkah karena
bagiku berjalan adalah candu. Aku jatuh cinta dengan proses yang dilaluinya. Membuat
rencana. Mengumpulkan informasi. Melangkah. Mewujudkan impian. Sampai ketika
pulang. Pulang untuk kembali merajut rasa ingin tahu dan keinginan ini untuk
terus melangkah. Pulang bukan berarti menyerah. Pulang hanyalah berhenti
sementara, mengistirahatkan langkah.
Karena perjalanan adalah rumah untukku. Ketika aku didera
rasa lelah dan rasa ingin tahuku menipis untuk sementara waktu, saat itulah aku
akan bertemu dengan rumah. Walau pun bukan tempat tinggal permanen, namun
ketika dalam perjalanan hati kita tertambat maka aku sudah bertemu dengan
rumah. Bandara yang sibuk menjadi tempat untuk pulang dan pergi beragam
manusia, stasiun, rumah penduduk yang menyajikan makanan di rumah bahkan pasir
pantai layaknya tepung yang memeluk kakiku bagiku adalah rumah. Tempat yang
seakan mengobati kerinduan pada rumah yang selalu setia menanti, sekaligus
tempat yang akan mendorongku untuk tidak ragu melangkah. Bercakap dengan warga
lokal yang kutemui bahkan dapat mengingatkan aku untuk tak lupa pulang. Menikmati
ciptaan Tuhan di luar sana yang menunggu untuk dilihat, dilestarikan, dan
dicicipi dengan panca indera oleh kita. Manusia.
Ah. Ketika menulis ini pun aku dihinggapi kerinduan yang
membuncah untuk kembali menjejakkan langkah. Keluarga di rumah sudah maklum aku
kerap melirik penuh rindu pada ransel kesayangan yang teronggok di pojokan
kamar. Tak sabar rasanya aku menemukan kejutan baru yang selama ini hanya
kutemui didalam buku. Buku adalah jendela dunia. Jendela awal untuk melihat
dunia yang sebenarnya.
Jangan bertanya padaku. Jangan menegaskan kepastian yang
malah membuatku jengah. Ya. Jika ingin tahu, aku bukanlah backpacker,
flashpacker, turis, apa pun itu. aku berjalan bukan untuk pencapaian gelar. Aku
menyayangi ranselku. Aku bahagia jika kaki ini masih bersemangat untuk
berjalan, meninggalkan jejak, jauh dari rumah. Aku adalah seorang biasa yang
sedang dipenuhi hasrat besar untuk melangkah. Melangkah untuk berangkat,
melangkah untuk pulang.
Jangan menatapku dengan rasa ingin tahu dilanjutkan
pertanyaan, “sudah berapa negara yang kamu kunjungi?”. Sudah pasti aku tak akan
menjawabnya. Karena perjalanan yang kulakukan bukan perlombaan nominal tempat
yang sudah dikunjungi. Aku berjalan keluar, menghirup udara segar untuk
mengenali siapa diriku. Untuk merekam potongan cerita yang dapat menjadi memori
indah nantinya. Mencecap angin di tempat asing, tersesat dalam kebebasan adalah
kebahagiaan untukku. Aku akan pulang tidak dengan kantong oleh-oleh. Aku akan
pulang dengan deretan foto dan segudang cerita agar dapat menginspirasi untuk
melakukan perjalanan. Pulang, bagiku hanyalah berhenti sementara untuk menemui
kembali jejak yang masih tercecer di suatu tempat.
Menjejakkan langkah, pergi dan kembali.. |
PS: Tulisan ini dibuat
dalam rangka mengikuti #NubieTraveller Monthly Blog Competition: “Pulang” @TravellersID
inti dari perjalanan memanglah pulang.
BalasHapus