Selembar foto dapat berbicara.
Menceritakan lebih banyak dari seharusnya. Siang itu aku termenung, tanganku
gemetar sembari memandangi foto yang sudah tampak lusuh itu namun sarat akan
cerita. Tampak dalam foto tersebut mama mendekapku penuh sayang di pekarangan
rumah. Senyumku tersungging dengan ceria. Seketika ingatanku melayang pada masa kecilku dulu.
Selangkah demi selangkah. Terjatuh.
Selangkah lagi. Terjatuh lagi. Demikian seterusnya. Kaki mungilku tak begitu
saja menyerah untuk menciptakan jejak baru.
Dengan penuh kesabaran mama
memapahku yang amat berkeras keinginan untuk dapat segera berlari meraup angin.
Memang waktu kecil dulu aku cenderung terlambat belajar berjalan karena satu
dan lain hal. Namun mama tidak pernah lelah mendampingi agar aku tidak takut
dan ragu untuk terus melangkah dengan kaki mungil itu.
“ayo, jalan terus. Jangan
khawatir akan terjatuh. Mama gak akan melepaskan kamu sampai kamu bisa berjalan
sendiri”. Kata-kata yang terus terngiang hingga aku sudah dewasa kini. Mama
memang motivasi terbesarku agar aku tidak dihinggapi ketakutan untuk memulai
langkah awal. Langkah yang terus menuntunku sampai sekarang untuk mengejar
mimpi-mimpi. Mimpi yang didominasi destinasi agar pikiran ini terus termotivasi
untuk menderapkan langkah di tempat asing sekalipun.
Kini aku bukanlah balita lagi. Aku
sudah tumbuh dewasa. Keberanianku untuk mengawali langkah terus bertambah. Karena
aku percaya segala sesuatu diluar sana dapat kita rengkuh jika kita berani
mengambil langkah awal, dan langkah tersebut bermula dari keyakinan yang timbul
dari dalam diri.
Memasuki usia sekolah menengah
pertama aku semakin senang berjalan-jalan, mengawali langkah baru. Aku selalu
bersemangat jika mendekati acara study tour yang diadakan oleh sekolah. Hanya itu
kesempatan yang kumanfaatkan dengan baik karena mayoritas keluarga besarku
tidak senang traveling. Hanya buang-buang uang saja, katanya. Jadi sebisa
mungkin aku tidak pernah melewatkan kegiatan piknik yang diselenggarakan pihak
sekolah karena ternyata amat menyenangkan.
Jika ada yang bertanya padaku,
darimana hobi travelingku bermula. Mama adalah jawaban utama. Mama yang mengajariku
menapakkan jejak kaki yang baru. Semasa remaja dulu mamaku gemar mendaki gunung
dengan teman lelaki karena mamaku tomboy, tak terlalu banyak sisi femininnya. Tampaknya
kesukaan mama berpetualang itulah yang menurun padaku.
Gairah mendalam akan traveling
semakin menjadi menjelang bangku SMA. Study tour ke pedesaan yang masih asri dengan menumpang
tronton tentara membuatku ketagihan mereguk angin alam yang membelai panca
indera. Menginap di wisma, bercengkerama dengan penduduk sekitar, menanam padi
yang selama ini aku nikmati di piring tanpa tahu prosesnya membuat pikiranku
semakin terbuka bahwa dunia itu amat luas dan sayang jika hanya disaksikan
melalui media saja.
Selama SMA aku mulai sering
bertemu dengan orang-orang yang lebih dulu berkecimpung di dunia traveling. Aku
sering melibatkan diri dalam acara gathering pejalan, bedah buku yang membahas
perjalanan atau buku panduan perjalanan aku datangi. Aku juga berinisiatif
untuk membuka diri terhadap penulis atau orang yang bergerak dalam dunia
pariwisata karena aku selalu percaya kesempatan untuk menjelajah datangnya dari
mana saja, dimana saja, melalui siapa pun. Aku mulai membuka wawasan bahwa
jalan-jalan ke tempat baru tidak hanya bisa dilakukan oleh orang berduit. Siapa
saja bisa asal ada niat dan kemauan untuk memulai langkah awal, mencari
pengalaman baru.
23 April
2012
Suatu siang yang terik dengan
mantap aku melangkahkan kaki, meninggalkan rumah untuk sementara waktu. Tas ransel
berisi keperluanku untuk 4 hari mendatang menempel erat di punggung, seerat ketetapan
hatiku yang sudah haus akan pengalaman yang menanti di perjalanan. Tiket transportasi
udara sudah aman didalam tas selempang, yang sejatinya berlawanan dengan
kondisi hatiku yang kala itu sudah siap keluar dari zona aman yang menempel
dalam keseharian.
Selama duduk dalam taksi aku
tidak dapat tenang. Aku gelisah. Apakah pengalaman yang menungguku diluar sana?
Apakah akan menyenangkan? Aku bukan orang yang terlalu religius, tapi aku tahu
Tuhan menjagaku dalam perjalanan ini.
Setibanya di bandar udara, aku
belum juga bisa tenang. Bagaimana bisa tenang kalau... ya. Aku akan bocorkan
sedikit rahasia. Hari ini adalah waktu pertama aku merasakan naik si burung
besi. Aku memegang tiket pesawat dengan gemetar di tanganku. Sementara di
sampingku partner perjalanan terbaikku menenangkan aku bahwa semua akan
berjalan baik-baik saja, insya allah berjalan sesuai rencana.
“sudah tenang saja. salah satu
impianmu sudah terwujud bukan? Akhirnya kamu akan naik pesawat, yang selama ini
hanya kamu bayangkan saja sebelum tidur sampai terbawa mimpi”. Sedikit sarkas
mungkin. Tapi itu memang benar adanya. Aku dilingkupi perasaan bahagia juga karena
akhirnya aku dapat mencoret satu daftar impianku: duduk manis dalam pesawat
terbang.
Ketika saatnya tiba, aku
berangsur-angsur tenang juga. Aku menaiki tangga itu dengan mantap, tanpa
keraguan. Kutinggalkan semua ketakutanku di rumah. Di hadapanku si burung besi
berdiri kokoh dengan sayapnya yang seakan melambai kepada para penumpang yang
akan menaikinya.
Kini disinilah aku. Di badan
burung gagah yang akan terbang tinggi menembus awan, membawaku ke tempat tujuan
yang aku tahu akan mengantarkan pada sejuta cerita. Saking gugup yang masih
tersisa, peragaan keselamatan awak pesawat yang ditampilkan sebelum pesawat
lepas landas seakan lenyap, tenggelam. Larut bersama rasa senang yang menggebu
dalam hati ini.
Dan.. burung besi akhirnya
meninggalkan pelataran. Bersanding dengan kumpulan awan yang tampak seperti
kapas. Aku tidak banyak bicara karena masih ada gugup yang menyelimuti. Pikirku,
oh seperti ini rasanya ya naik pesawat terbang. Aku akan dibawa si burung besi
ini menuju awal perjalananku yang sebenarnya. Partner perjalananku hanya
tersenyum. “selamat datang pada pintu gerbang cita-cita. Pintu yang perlahan
terbuka lebar yang bermula dari keteguhanmu untuk bertolak dari zona nyamanmu”
Aku tersenyum lebar. Bahagia. Masa
kecilku dulu kembali berputar di kepala. Hati ini adem sekali rasanya. Terima kasih
ya mama. Engkau tidak pernah letih memberiku semangat untuk terus melangkah,
meskipun mungkin akan terjatuh di depan. Hati ini semakin teguh, bahwa sesuatu
yang besar dimulai dari langkah yang kecil.
PS. artikel ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba Blog Competition #NubieTraveller "Awal-Mula".